BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan unclos 1982 indonesia merupakan Negara
kepulauan .Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai potensi sumberdaya,
terutama perikanan laut yang cukup besar.
Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat
luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan ancaman sengketa batas
wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak
atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan kedalaman 200
meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan
perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut.
Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya
aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia, Khususnya di laut
territorial. peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal
barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan
laut. Selain itu Indonesia masih banyak mengalami sengketa perbatasan
dengan Negara tetangga .
Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai
hukum laut Indonesia kususnya dilaut territorial yang sering dilalui oleh kapal
asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara
tetangga.kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa perbatasan
mengenai laut territorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah laut
territorial dari pangkuan Negara ndonesia.selain itu kurangnya pengawasan
terhadap laut territorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan
hilangnya kekayaan alam yang terkandung didalamnya terutama potensi
perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai laut territorial sehingga
pengelolaan dan pengawasan terhadap laut territorial benar benar bejalan
optimal.
B.
Tujuan
·
Melalui makalah ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat luas pada umumnya dan pada penulis
khususnya mengenai laut teritorial sehingga masyarakat dapat ikut
secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
·
memberikan gambaran tentang laut
territorial Indonesia baik berdasarkan peraturan nasinal maupun peraturan
internasional.
·
Untuk memberikan solusi terhadap
permasalan laut territorial Indonesia
B.
Rumusan masalah
·
apakah yang dimaksud laut
territorial dan hak lintas damai dilaut territorial disertai pengaturannya?
·
Bagaimana cara menentukan garis
batas laut territorial?
·
bagaimana pengaturan hukum laut di
Indonesia
·
bagaimana pengaturan hukum laut
mengenai laut territorial ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Laut Territorial
Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk
menumpas pembajakan dan untuk mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar
negara. Prinsip ini mengijinkan negara untuk memperluas yurisdiksinya melebihi
batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara konseptual, laut
teritorial merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak Konferensi
Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara-negara pantai mendukung
rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut.
Kemudian ketentuan laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut
1982 (LOCS). LOCS mengijikan negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif
atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis
dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara tersebut.penertian laut
territorial menurut hukum laut internasional maupun nasional adalah sebagai
berikut :
¨
menurut UNCLOS
Garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang
lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar Laut territorial didefinisikan
sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.
Garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada
pantai pada waktu air laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut
Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya
kedaulatan atas laut territorial ini tunduk pada ketentuan hokum internasional.
¨
menurut uu no.6 tahun 1996
Laut teritorial adalah jalur laut selebar 12(dua
belas) mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang
dimaksud pasal 5 UU No 6 Tahun 1996 Pasal 5 UU No 6 Tahun 1996
1.
Garis pangkal kepulauan Indonesia
ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus
kepulauan.
2.
Dalam hal garis pangkal lurus
kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka
digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.
3.
Garis pangkal lurus kepulauan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-
karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
4.
Panjang garis pangkal lurus
kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100
(seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan
garis -garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi
kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh
lima) mil laut.
5.
Garis pangkal lurus kepulauan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi
surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi
serupa yang se-cara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi
surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak
melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
6.
Garis pangkal biasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.
7.
Garis pangkal lurus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik
terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau
deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai
bagi kendaraan-kendaraan air asing. Kapal asing yang menyelenggarakan lintas
laut damai di Laut Teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan
kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara
pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu
sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak
ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai
tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya,
sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan
navigasi yang normal atau kerena keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya atau
untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang
berada dalam keadaan bahaya. Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi
kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan
dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat
bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut,
konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan
perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan
pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan
pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.
Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik
negara berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai
melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam pasal 17 LOCS 1982. Dalam
pasal 18 LOCS 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti suatu navigasi
melalui laut teritorial untuk keperluan :
1.
Melintasi laut tanpa memasuki
perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau
fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman ; atau
2.
Berlalu ke atau dari perairan
pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead)
atau fasilitas pelabuhan tersebut.Termasuk dalam pengertian lintas ini harus
terus menerus, langsung serta secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan
buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi
yang lajim atau perlu dilakukan karena force majure atau memberi pertolongan
kepada orang lain, kapal atau pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.
Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa
lintas adalah damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atai
keamanan Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan
kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai, apabila kapal tersebut
dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan
sebagai berikut :
1.
Setiap ancaman penggunaan kekerasan
terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai,
atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
2.
Setiap latihan atau praktek dengan
senjata macam apapun.
3.
Setiap perbuatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara
pantai.
4.
Peluncuran, pendaratan atau
penerimaan pesawat udara di atas kapal.
5.
Perbuatan propaganda yang bertujuan
mempengaruhi pertahanan dan keamanan Negara pantai.
6.
Bongkar atau muat setiap komoditi,
mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan bea cukai dan
imigrasi.
7.
Perbuatan pencemaran laut yang
disengaja.
8.
Kegiatan perikanan.
9.
Kegiatan riset.
10.
Mengganggu sistem komunikasi.
11.
Kegiatan yang berhubungan langsung
dengan lintas. Pasal 32 UNLOCS memberikan pengecualian bagi kapal perang atau
kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non komersial. Pasal 29 LOCS
memberikan definisi kapal perang yaitu suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan
bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus
kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh
pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar
yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan
bersenjata reguler.
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai
kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau
perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai
juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis
berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu
Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata
terhadap kapal Negara manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus
secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya
yang diketahuinya.
Selanjutnya Pasal 25 LOCS, mengenai hak perlindungan
bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang
diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya.
Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya
kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi
formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat
menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk
perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata.
Cara
Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial
Seperti yang diuraikan diatas bahwa penentuan laut
territorial suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12
mil dari garis pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah
seperti yang diatur dalam pasal 5 unclos dan uu no.6 tahun 1996 pasal 5.namun
unclos dan uu no.6 tahun1996 memberikan pengecualian terhadap wilayah laut yang
memiliki pantai yang saling berhadapan antar Negara pantai.
1.
Pasal 10 uu no.6 tahun 1996
menyebutkan bahwa :
·
Dalam hal pantai Indonesia letaknya
berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali
adapersetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia
dengan negara tersebut adalahgaris tengah yang titik-titiknya sama jaraknya
dari titik- titik ter-dekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
masing-masing negara diukur.
·
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis ataukeadaan khusus
lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua
negaramenurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
2.
Pasal 83 UNCLOS, 1982 menetapkan
bahwa penentuan batas landasan continental antar negara dengan pesisir yang
berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian berdasarkan
hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas
dan fair.
Berdasarkan peraturan diatas ,dapat dinyatakan bahwa
penentuan batas laut territorial antara Negara pantai yang memiliki wilayah
pantai dapat dilakukan melalui perundingan atau kesepakatan antar kedua belah
pihak.
- Pengaturan
Hukum Laut Indonesia
Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
1.
UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia.
2.
Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962
tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
3.
UU No 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
4.
UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan
5.
Peraturan Pemerintah No 36 Tahun
2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui
Perairan Indonesia
6.
PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian
dan atau perusakan laut
Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut
territorial diindonesia masih banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya
tidak adanya pengaturan batas laut Indonesia.
- Pengaturan
Hukum Laut Internasional Mengenai Laut Teritorial Dalam Unclos 1982
Dalam unclos laut teritorial diatur
dalam :
1.Pendahuluan (pasal 1sampai 3)
2. batas Laut Teritorial
3.lintas damai di laut territorial
Sub bagian :
·
Peraturan yang berlaku bagi semua kapal(pasal
17 sampai 26) Sub bagian
·
Peraturan yang berlaku bagi kapal
dagang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersial(pasal 27
sampai 28)
·
Peraturan yang berlaku bagi kapal
perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan
non-komersial(pasal 29 sampai 32)
Kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang
lebih dikenal dengan Hukum laut kebudayaan “kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya dan
kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan”.
Hukum laut di berbagai daerah dikenal dengan nama yang
berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum
adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu
masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para
warganya. Hukum laut mengandung 2 (dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum
perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat
yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai
peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib,
sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum)
seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik,
yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukkan, penggunaan,
dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para
warganya sendiri, maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau orang
luar.Yang juga perlu disamakan pengertiannya adalah tentang masyarakat hukum
adat dan kebudayaan. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.Tanah ulayat adalah bidang
tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu.
Subyek hukum ini adalah masyarakat hukum adat, baik
yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (territorial),
maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis) yang dikenal dengan
berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga,
dati, dusun, nagari, dan sebagainya. Apabila orang yang seakan-akan merupakan
subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang
memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hukum laut, melainkan petugas
masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan
hukum laut.
Dalam rangka hukum laut tersebut, para masyarakat
hukum adat yang bersangkutan berhak untuk menguasai dan menggunakan
bagian-bagian tanah bersama itu secara individual, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama warga yang lain dengan hak-hak atas tanah yang sifatnya pribadi.
Hak penguasaan individual itu bersifat pribadi, karena tanah yang dikuasai
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Hak-hak
perorangan tersebut ada yang sifatnya sementara, ada pula yang karena tingkat
intensitas penguasaan dan penggunaannya berkembang menjadi hak pribadi yang
kuat, tidak terbatas jangka waktu berlakunya dan dapat pula dipindahkan kepada
warga yang lain. Ada pengaruh timbal balik antara kekuatan masyarakat hukum
adat dan hak-hak pribadi para warganya.
Pengakuan Hukum laut kebudayaan
Hukum laut
merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas tanah dan air.
Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang ”komunalistik”, religius, yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat
pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan” (Boedi Harsono, 1997). Hukum
laut memiliki paling sedikit 3 unsur pokok, yaitu:
¨
Masyarakat hukum sebagai subjek
hukum laut;
¨
Institusi kepemimpinan yang memiliki
otoritas publik dan perdata atas hukum laut;
¨
Wilayah yang merupakan objek hukum
laut, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap sumber daya alam yang
terkandung didalamnya.
Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang
tergolong dalam bidang hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah
dan perairan, sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas
kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan,
penggunaan, dan pemeliharaannya. Hukum laut meliputi semua tanah dan perairan
yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang
sudah dihak-i oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hukum
laut tidak ada tanah maupun perairan sebagai res nulius (Boedi Harsono,
1997).
Konsekuensi dari ada dan tidaknya tanah dan perairan res
nulius dalam lingkungan hukum laut adalah tidak satu pun perbuatan hukum
yang bersifat perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat
hukum adat, yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dengan
kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hukum laut, hal ini berarti perairan
yang merupakan wilayah dari hukum tertentu, tunduk sepenuhnya di bawah otoritas
institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.
Di Indonesia, selain hukum laut di kenal pula jenis hak adat lainnya,
seperti tradisi penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan
penangkapan ikan secara tradisional di Sulawesi Selatan yang disebut bagang (Saad,
2000).
Hak Masyarakat Adat
Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga
memiliki kewajiban-kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar
mereka. Antara hak dan kewajiban harus ada keseimbangan yang kuat sehingga
membentuk pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik
secara sosial, politik, alamiah, budaya, dan agama dari kehidupan masyarakat
adat (Ronald Titahelu, Paper on Indonesian Legal Center for Community Based
Property Rights and Marine and Coastal Resources Management).
Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya
laut dan pesisir tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan
kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi mereka sangat mengenal lingkungan
sekitar mereka dan tahu bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara
harmonis dan tetap dapat mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah
laut dan pesisir beserta sumber daya alam di dalamnya.
Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat
di dalam mengelola wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal
yang memberikan potensi besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman dari
orang luar, termasuk dari Negara. Masyarakat adat telah melindungi dan
mempertahankan hak dan kewajiban mereka jauh bahkan sebelum negara itu ada.
Pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah laut dan pesisir bukan
atas pemberian Negara melainkan secara alamiah merupakan bagian dari legenda
dan sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka diami
merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.
Hak memiliki atau mengelola dari masyarakat adat
menekankan pada 3 (tiga) elemen mendasar, yaitu:
1.
Otoritas hukum untuk mengelola
lingkungan.
2.
Otoritas penuh untuk menentukan
nasib sendiri.
3.
Hak untuk memberikan persetujuan
terhadap setiap rencana kegiatan/kebijakan negara yang berdampak pada nasib
masyarakat itu sendiri.
Saat ini, hubungan antara sumberdaya laut dan maritim
dengan kewenangan pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan
dari pemerintah dan pembuat kebijakan. Selain itu, beberapa inisiatif dari
masyarakat dan dorongan dunia internasional mulai bermunculan untuk mendukung
masyarakat nelayan walaupun hukum nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan,
dan instrumen hukum lainnya yang mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat
adat terhadap sumber daya laut dan pesisir belum terdapat di Indonesia. Namun
pelaksanaan otonomi daerah dan pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang
di lakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah merupakan langkah yang cukup
menjanjikan serta mengkhawatirkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut
dan pesisir oleh masyarakat adat, walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih
jauh lagi.
Hukum dalam Ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Maritim dan Pulau-Pulau Kecil
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Maritim dan Pulau-Pulau Kecil pasal 18, disebutkan bahwa HP3 (Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir) dapat diberikan diantaranya kepada masyarakat adat. Lebih
lanjut, pada pasal 60, disebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk melakukan
kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Pada pasal 61, disebutkan juga bahwa pemerintah
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat
tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Kemudian disebutkan juga bahwa
pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal
dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
berkelanjutan.
Mengacu pada amanat UU No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir (HP3) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam draft PP HP3
ini, pengaturan dan pemuatan yang berkenaan dengan hak ulayat menjadi semakin
terdefinisi untuk dapat dioperasionalisasikan. Pengakuan terhadap eksistensi
hak ulayat serta perhatian terhadap keberlangsungan aktivitas dari masyarakat
adat tetap menjadi salah satu muatan utama yang mewarnai muatan PP HP3
tersebut. Esensi untuk menghormati, melindungi, dan menyetarakan kepentingan
masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam kompetisi terhadap kepentingan
investasi yang dikhawatirkan akan mendominasi pemanfaatan ruang khususnya
pemanfaatan ruang laut atau wilayah perairan, merupakan salah satu landasan
yang seharusnya dapat memperkuat PP HP3 ini sebagai suatu kebijakan yang akan
berpihak kepada masyarakat
BAB III
KESIMPULAN
·
garis-garis dasar (garis pangkal /
baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar Laut territorial
didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.
·
menurut uu no.6 tahun 1996 laut
territorial adalah jalur laut selebar 12(dua belas) mil yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5.
·
Dalam Laut Teritorial berlaku hak
lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing
·
penentuan laut territorial
suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis
pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang diatur
dalam pasal 5 unclos dan uu no.6 tahun 1996 pasal 5
·
secara nasional pengaturan mengenai
hak lintas damai terdapat dalam:
·
UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia
·
Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962
tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
·
UU No 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
·
UU No 6 Tahun 1996 tentang Pelayaran
·
Peraturan Pemerintah No 36 Tahun
2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai
Melalui Perairan Indonesia
·
PP no.19 tahun 1999 tentang
pengendalian dan atau perusakan laut
·
pengaturan hukum laut internasional
mengenai laut territorial dalam unclos 1982 mengenai laut territorial diatur
dalam bab 1,2 dan3 yaitu mulai pasal 1 sampai dengan pasal 32
DAFTAR PUSTAKA
Narzif .2003. Modul Hukum Laut Indonesia.
Kusumaatmadja,mochtar. 1978. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta.
UNCLOS 1982
UU No.6 Tahun 1996
UU No.17 Tahun 1985
0 komentar: