Sistem Hukum Laut dan Pengaturan Pengaturan Tradisional pada Masyarakat maritim

0
Rabu, Januari 02, 2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berdasarkan unclos 1982 indonesia merupakan Negara kepulauan .Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar.
Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut.
Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia, Khususnya di laut territorial. peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan laut. Selain itu Indonesia  masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan Negara tetangga .
Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai hukum laut Indonesia kususnya dilaut territorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga.kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa perbatasan mengenai laut territorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah laut territorial dari pangkuan Negara ndonesia.selain itu kurangnya pengawasan terhadap laut territorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan hilangnya kekayaan alam yang terkandung didalamnya terutama  potensi perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai laut territorial sehingga pengelolaan dan pengawasan terhadap laut territorial benar benar bejalan optimal.

B.     Tujuan
·         Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas pada umumnya dan pada penulis khususnya  mengenai laut  teritorial sehingga masyarakat dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
·         memberikan gambaran tentang laut territorial Indonesia  baik berdasarkan peraturan nasinal maupun peraturan internasional.
·         Untuk memberikan solusi terhadap permasalan laut territorial Indonesia


B.     Rumusan masalah
·         apakah yang dimaksud laut territorial dan hak lintas damai dilaut territorial disertai pengaturannya?
·         Bagaimana cara menentukan garis batas laut territorial?
·         bagaimana pengaturan hukum laut di Indonesia
·         bagaimana pengaturan hukum laut mengenai laut territorial ?




























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Laut Territorial
Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk menumpas pembajakan dan untuk mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar negara. Prinsip ini mengijinkan negara untuk memperluas yurisdiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak Konferensi Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara-negara pantai mendukung rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut. Kemudian ketentuan laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (LOCS). LOCS mengijikan negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara tersebut.penertian laut territorial menurut hukum laut internasional maupun nasional adalah sebagai berikut :
¨      menurut UNCLOS
Garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar Laut territorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.
Garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut territorial ini tunduk pada ketentuan hokum internasional.

¨      menurut uu no.6 tahun 1996

Laut teritorial adalah jalur laut selebar 12(dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5 UU No 6 Tahun 1996 Pasal 5 UU No 6 Tahun 1996
1.      Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.
2.      Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.
3.      Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
4.      Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
5.      Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
6.      Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.
7.    Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.

Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing. Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di Laut Teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya. Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam pasal 17 LOCS 1982. Dalam pasal 18 LOCS 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti suatu navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan :
1.      Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman ; atau
2.      Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lajim atau perlu dilakukan karena force majure atau memberi pertolongan kepada orang lain, kapal atau pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.

Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas adalah damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atai keamanan Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai, apabila kapal tersebut dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :
1.             Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
2.             Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.
3.             Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
4.             Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.
5.             Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan keamanan Negara pantai.
6.             Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.
7.             Perbuatan pencemaran laut yang disengaja.
8.             Kegiatan perikanan.
9.             Kegiatan riset.
10.         Mengganggu sistem komunikasi.
11.         Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas. Pasal 32 UNLOCS memberikan pengecualian bagi kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non komersial. Pasal 29 LOCS memberikan definisi kapal perang yaitu suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.

Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.

Selanjutnya Pasal 25 LOCS, mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata.
Cara Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial
Seperti yang diuraikan diatas bahwa penentuan laut territorial  suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam pasal 5 unclos dan uu no.6 tahun 1996 pasal 5.namun unclos dan uu no.6 tahun1996 memberikan pengecualian terhadap wilayah laut yang memiliki pantai yang saling berhadapan antar Negara pantai.
1.      Pasal 10 uu no.6 tahun 1996 menyebutkan bahwa :
·         Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain,   kecuali adapersetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalahgaris tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik ter-dekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
·         Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis ataukeadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negaramenurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
2.      Pasal 83 UNCLOS, 1982 menetapkan bahwa penentuan batas landasan continental antar negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian berdasarkan hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas dan fair.
Berdasarkan peraturan diatas ,dapat dinyatakan bahwa penentuan batas laut territorial antara Negara pantai yang memiliki wilayah pantai dapat dilakukan melalui perundingan atau kesepakatan antar kedua belah pihak.
  1. Pengaturan Hukum Laut Indonesia
Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
1.      UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
2.      Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
3.      UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
4.      UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan
5.      Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
6.      PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian dan atau perusakan laut
Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut territorial diindonesia masih banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya tidak adanya pengaturan batas laut Indonesia.
  1. Pengaturan Hukum Laut Internasional Mengenai Laut Teritorial Dalam Unclos 1982
Dalam unclos laut teritorial diatur dalam :
1.Pendahuluan (pasal 1sampai 3)
2. batas Laut Teritorial
3.lintas damai di laut territorial
Sub bagian :
·      Peraturan yang berlaku bagi semua kapal(pasal 17 sampai 26) Sub bagian
·      Peraturan yang berlaku bagi kapal dagang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersial(pasal 27 sampai 28)
·      Peraturan yang berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial(pasal 29 sampai 32)
                                               
Kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Hukum laut kebudayaan “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Hukum laut di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hukum laut mengandung 2 (dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukkan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri, maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau orang luar.Yang juga perlu disamakan pengertiannya adalah tentang masyarakat hukum adat dan kebudayaan. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Subyek hukum ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (territorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis) yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari, dan sebagainya. Apabila orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hukum laut, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hukum laut.

Dalam rangka hukum laut tersebut, para masyarakat hukum adat yang bersangkutan berhak untuk menguasai dan menggunakan bagian-bagian tanah bersama itu secara individual, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama warga yang lain dengan hak-hak atas tanah yang sifatnya pribadi. Hak penguasaan individual itu bersifat pribadi, karena tanah yang dikuasai diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Hak-hak perorangan tersebut ada yang sifatnya sementara, ada pula yang karena tingkat intensitas penguasaan dan penggunaannya berkembang menjadi hak pribadi yang kuat, tidak terbatas jangka waktu berlakunya dan dapat pula dipindahkan kepada warga yang lain. Ada pengaruh timbal balik antara kekuatan masyarakat hukum adat dan hak-hak pribadi para warganya.


Pengakuan Hukum laut kebudayaan

Hukum laut merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang ”komunalistik”, religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan” (Boedi Harsono, 1997). Hukum laut memiliki paling sedikit 3 unsur pokok, yaitu:
¨      Masyarakat hukum sebagai subjek hukum laut;
¨      Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas hukum laut;
¨      Wilayah yang merupakan objek hukum laut, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.

Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan, sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Hukum laut meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihak-i oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hukum laut tidak ada tanah maupun perairan sebagai res nulius (Boedi Harsono, 1997).

Konsekuensi dari ada dan tidaknya tanah dan perairan res nulius dalam lingkungan hukum laut adalah tidak satu pun perbuatan hukum yang bersifat perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hukum laut, hal ini berarti perairan yang merupakan wilayah dari hukum tertentu, tunduk sepenuhnya di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.

Di Indonesia, selain hukum laut di kenal pula jenis hak adat lainnya, seperti tradisi penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan secara tradisional di Sulawesi Selatan yang disebut bagang (Saad, 2000).


Hak Masyarakat Adat

Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki kewajiban-kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka. Antara hak dan kewajiban harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial, politik, alamiah, budaya, dan agama dari kehidupan masyarakat adat (Ronald Titahelu, Paper on Indonesian Legal Center for Community Based Property Rights and Marine and Coastal Resources Management).

Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi mereka sangat mengenal lingkungan sekitar mereka dan tahu bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis dan tetap dapat mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan pesisir beserta sumber daya alam di dalamnya.

Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam mengelola wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan potensi besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman dari orang luar, termasuk dari Negara. Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahankan hak dan kewajiban mereka jauh bahkan sebelum negara itu ada. Pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah laut dan pesisir bukan atas pemberian Negara melainkan secara alamiah merupakan bagian dari legenda dan sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka diami merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.

Hak memiliki atau mengelola dari masyarakat adat menekankan pada 3 (tiga) elemen mendasar, yaitu:
1.      Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.
2.      Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri.
3.      Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana kegiatan/kebijakan negara yang berdampak pada nasib masyarakat itu sendiri.

Saat ini, hubungan antara sumberdaya laut dan maritim dengan kewenangan pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari pemerintah dan pembuat kebijakan. Selain itu, beberapa inisiatif dari masyarakat dan dorongan dunia internasional mulai bermunculan untuk mendukung masyarakat nelayan walaupun hukum nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan, dan instrumen hukum lainnya yang mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya laut dan pesisir belum terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah dan pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat, walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi.

Hukum dalam Ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Maritim dan Pulau-Pulau Kecil

Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Maritim dan Pulau-Pulau Kecil pasal 18, disebutkan bahwa HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) dapat diberikan diantaranya kepada masyarakat adat. Lebih lanjut, pada pasal 60, disebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.  

Pada pasal 61, disebutkan juga bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Kemudian disebutkan juga bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

Mengacu pada amanat UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam draft PP HP3 ini, pengaturan dan pemuatan yang berkenaan dengan hak ulayat menjadi semakin terdefinisi untuk dapat dioperasionalisasikan. Pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat serta perhatian terhadap keberlangsungan aktivitas dari masyarakat adat tetap menjadi salah satu muatan utama yang mewarnai muatan PP HP3 tersebut. Esensi untuk menghormati, melindungi, dan menyetarakan kepentingan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam kompetisi terhadap kepentingan investasi yang dikhawatirkan akan mendominasi pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang laut atau wilayah perairan, merupakan salah satu landasan yang seharusnya dapat memperkuat PP HP3 ini sebagai suatu kebijakan yang akan berpihak kepada masyarakat



BAB III
KESIMPULAN

·         garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar Laut territorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.
·         menurut uu no.6 tahun 1996 laut territorial adalah jalur laut selebar 12(dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5.
·         Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing
·         penentuan laut territorial  suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam pasal 5 unclos dan uu no.6 tahun 1996 pasal 5
·         secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
·         UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
·         Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
·         UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
·         UU No 6 Tahun 1996 tentang Pelayaran
·         Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
·         PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian dan atau perusakan laut
·         pengaturan hukum laut internasional mengenai laut territorial dalam unclos 1982 mengenai laut territorial diatur dalam bab 1,2 dan3 yaitu mulai pasal 1 sampai dengan pasal 32








DAFTAR PUSTAKA

Hendri. 2011. Makalah Hukum Laut Indonesia. http://henrik-blog2.blogspot.com/2012/06/makalah-hukum-laut-indonesia.html. tanggal akses 12 Desember 2012.
Narzif .2003. Modul Hukum Laut Indonesia.
Kusumaatmadja,mochtar. 1978. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta.
UNCLOS 1982
UU No.6 Tahun 1996
UU No.17 Tahun 1985

About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 komentar: